Hukum Memakan Bekicot dalam Islam: Tinjauan Dalil dan Pendapat Ulama

Media Al Ahkam Mei 23, 2025 19 Views
Share:

Bekicot, atau yang dikenal juga sebagai keong darat, merupakan hewan yang sering ditemui di lingkungan lembap, seperti kebun atau persawahan. Di beberapa negara, bekicot dijadikan sebagai bahan makanan, sementara di tempat lain dianggap sebagai hama. Namun, bagaimana hukum memakan bekicot dalam Islam? Apakah halal atau haram?

Artikel ini akan membahas hukum mengonsumsi bekicot berdasarkan dalil Al-Qur’an, hadis, serta pendapat ulama.

1. Klasifikasi Bekicot dalam Islam

Sebelum menentukan hukumnya, penting untuk memahami status bekicot dalam Islam. Bekicot termasuk hewan yang hidup di darat dan tidak memiliki darah yang mengalir (tidak termasuk dalam kategori hewan yang disembelih). Oleh karena itu, status halal atau haramnya perlu dikaji berdasarkan kriteria hewan yang dihalalkan dan diharamkan dalam syariat Islam.

2. Dalil Umum tentang Hewan yang Halal dan Haram

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

“Dan (Rasul) yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka.” (QS. Al-A’raf: 157)

Ayat ini menjadi dasar bahwa segala sesuatu yang baik (thayyib) dihalalkan, sedangkan yang buruk (khabits) diharamkan. Namun, apakah bekicot termasuk dalam kategori thayyib atau khabits?

Selain itu, dalam hadis, Nabi Muhammad SAW memberikan beberapa ketentuan tentang hewan yang halal dan haram, seperti:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ

“Dari Ibnu Umar RA, ia berkata: Nabi SAW melarang (memakan) setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang memiliki cakar.” (HR. Muslim)

Bekicot tidak termasuk hewan buas atau burung bercakar, sehingga tidak masuk dalam larangan ini.

3. Pendapat Ulama tentang Hukum Memakan Bekicot

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kehalalan bekicot. Berikut beberapa pandangan utama:

a. Pendapat yang Mengharamkan Bekicot

Sebagian ulama berpendapat bahwa bekicot termasuk hewan yang menjijikkan (khabits) sehingga haram dimakan. Mereka berargumen bahwa bekicot hidup di tempat-tempat kotor dan mengandung lendir yang dianggap tidak layak dikonsumsi.

Selain itu, dalam Mazhab Syafi’i, hewan yang hidup di dua alam (darat dan air) seperti katak dan buaya diharamkan. Sebagian ulama memasukkan bekicot dalam kategori ini karena meskipun hidup di darat, bekicot membutuhkan kelembapan tinggi seperti siput.

b. Pendapat yang Menghalalkan Bekicot

Di sisi lain, sebagian ulama berpendapat bahwa bekicot halal selama tidak beracun dan tidak membahayakan kesehatan. Mereka berdalil bahwa tidak ada nash (teks) yang secara jelas mengharamkan bekicot.

Imam Malik dalam Mazhab Maliki membolehkan memakan hewan-hewan seperti siput dan serangga selama tidak berbahaya. Bekicot dianggap serupa dengan siput, sehingga bisa dihalalkan.

Sebagian ulama menyatakan bahwa selama suatu hewan tidak termasuk dalam kategori yang diharamkan secara jelas (seperti babi, anjing, atau hewan buas), maka status asalnya adalah halal.

4. Analisis Medis dan Dampak Kesehatan

Selain tinjauan syar’i, perlu juga dilihat dari sisi medis. Bekicot dapat menjadi sumber protein, tetapi juga berpotensi menularkan parasit jika tidak dimasak dengan benar. Beberapa jenis bekicot juga mengandung racun.

Islam melarang segala sesuatu yang membahayakan tubuh, sebagaimana firman Allah:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195)

Oleh karena itu, jika bekicot terbukti berbahaya bagi kesehatan, maka mengonsumsinya menjadi haram.

5. Kesimpulan

Berdasarkan analisis di atas, hukum memakan bekicot dalam Islam dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Jika bekicot dianggap menjijikkan (khabits) dan berpotensi membahayakan, maka hukumnya haram.
  2. Jika bekicot tidak beracun, diolah dengan benar, dan tidak dianggap kotor oleh masyarakat setempat, maka statusnya halal.
  3. Perlu kehati-hatian dalam mengonsumsinya karena risiko kesehatan harus dipertimbangkan.

Sebagai muslim, sebaiknya kita memilih makanan yang jelas kehalalannya dan tidak mengandung syubhat. Jika ada keraguan, lebih baik meninggalkannya demi kehati-hatian dalam beragama.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Leave a Comment