Hukum Masjid dan Mushola
Masjid adalah tempat yang bisa dipakai untuk shalat berjama’ah dalam jumlah yang banyak dan bisa digunakan untuk melaksanakan shalat Jum’at. Sedangkan mushola hanya boleh dipakai untuk melaksanakan shalat jama’ah lima waktu dalam jumlah yang terbatas, serta tidak bisa digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan shalat Jum’at.
(Pertama) Masjid adalah tempat shalat yang sudah diwakafkan, oleh karenanya masjid tidak boleh dijual. Berkata an-Nawawi di dalam Minhajut-Thalibin (170),
الأظهر أن الملك في رقبة الموقوف ينتقل إلى الله تعالى، أي ينفك عن اختصاص لآدمي فلا يكون للواقف ولا للموقوف عليه
“Yang lebih tepat, bahwa kepemilikan tanah wakaf dipindahkan kepada Allah, yaitu sudah tidak ada hubungannya dengan kepemilikan manusia sama sekali. Oleh karenanya tidak ada hak di dalamnya bagi yang mewakafkan maupun yang menerima wakaf.”
Adapun mushola, boleh dimiliki oleh seseorang, dan boleh dijualbelikan, atau dipindahkan ke tempat lain, bahkan boleh di tempat sewaan.
(Kedua) Tidak dibolehkan bagi orang yang haid dan junub tinggal di masjid tetapi boleh tinggal di mushola.
(Ketiga) I’tikaf dan tahiyatul masjid hanya bisa dilakukan di masjid, dan tidak bisa dilakukan di mushola. Berkata al-Khatib asy-Syarbini di dalam Mughni al-Muhtaj (5/329),
ولا يفتقر شيء من العبادات إلى مسجد إلا التحية والاعتكاف والطواف
“Tidak ada suatu ibadah yang membutuhkan masjid kecuali shalat tahiyatul masjid, i’tikaf dan thawaf.”
(Keempat) Tidak membangun sesuatu di atas masjid, seperti apartemen tempat tinggal, atau bahkan tempat tinggal imam. Berkata Ibnu ‘Abidin di dalam Hasyiyah-nya (3/371),
“Kalau bangunan masjid sudah sempurna kemudian ingin membangun rumah untuk tempat tinggal imam di atasnya maka harus dilarang.”